Islam turun ke bumi sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semua
makhluk). Hal itu tertuang dalam Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup
umat muslim. Dikatakan pedoman hidup karena memuat segala aturan yang
diperlukan manusia ketika ia menjalani kehidupan di dunia. Memang
Al-Qur’an tidak menjelaskan aturan tersebut secara terperinci, namun
ayat-ayatnya bersifat umum sehingga tidak hanya berlaku untuk satu
bidang permasalahan saja tapi bisa hingga beberapa bidang. Untuk hal
yang lebih terperinci dapat dilihat melalui As-sunnah, Ijma shahabat,
dan Qiyas.
Aturan tersebut pun berlaku bagi bidang kesehatan dan kedokteran. Tak
bisa sembarang cara bisa dilakukan untuk mengobati penyakit manusia
sebab harus melihat pada hukum halal atau haramnya kepada 4 sumber
diatas. Ketika tidak diperbolehkan dilakukan (haram), maka jika tetap
dilakukan maka akan menjadi dosa. Seperti halnya metode pengobatan
dengan teknik transplantasi organ, menjadi perbincangan hangat
dikalangan ulama dan cendikiawan islam bidang kedokteran mengenai hukum
halal dan haramnya.
Namun, disini saya akan mencoba membagi permasalahan hukum dalam
trasplantasi organ ke dalam beberapa kasus. Kasus tersebut mengacu pada
jenis transplantasi (auto-transplantasi, homo-transplantasi, dan
hetero-transplantasi), status si pendonor organ jika seorang manusia
(masih hidup/sudah mati), jenis organ yang ditranspantasikan dari
manusia (organ vital/non-vital), organ dari hewan (hewan najis/tak
najis).
1. Auto-transplantasi (transplantasi dari suatu bagian tubuh ke bagian tubuh lain dalam individu yang sama)
Misalnya, kulit wajah yang terbakar “ditambal” dengan kulit dari
bagian paha atau penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung
dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Kasus ini hukumnya
boleh (mubah), dengan ketentuan dapat dipastikan proses tersebut
manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga,
hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk
mengembalikan ke bentuk asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat
yang membuat si resipien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.
2. Homo-transplantasi (transplantasi sesama manusia)
dari manusia yang masih hidup yang dapat mengakibatkan kematian
bila organ vitalnya diambil
Hukum kasus ini adalah haram. Seseorang yang mendonorkan organ
vitalnya seperti jantung, hati atau paru-parunya beresiko tinggi akan
mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal seseorang dilarang
membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain
untuk membunuh dirinya.
Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Allah SWT berfirman pula :
“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri.
Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu
(alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan
alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.“
3. Homo-transplantasi dari manusia yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematian bila organ non-vitalnya diambil
Syara’ membolehkan (mubah) seseorang di saat hidupnya untuk
menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan, seperti
tangan, kulit, ginjal, kornea mata (organ yang ganda jumlahnya). Boleh
dilakukan dengan syarat:
- Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ.
- Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan organ tersebut tidak boleh diperjualbelikan.
- Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
- Boleh, bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.
- Hanya menyumbangkan 1 bagian saja, bukan sepasang. Akan jadi haram hukumnya jika menyumbangkan sepasang organ misalnya sepasang kornea mata. Hal tersebut menyebabkan hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total (kebutaan), meskipun tidak membahayakan keselamatan jiwanya.
4. Homo-transplantasi dari manusia yang telah mati dengan mengambil organ vitalnya
Setelah kematiannya, manusia tidak diragukan lagi telah keluar dari
kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh,
maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap
tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian
anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya.
Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan
sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah.
Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupun harta
tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir.
Tetapi itu disebabkan karena syara’ memberikan izin pada manusia tentang
perkara tersebut. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak
dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak
diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian anggota
tubuhnya setelah dia mati.
Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara’ mewariskan pada mereka
harta yang diwariskan (oleh si mayat). Namun syara’ tidak mewariskan
jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan
apapun dari si mayat. Jika terhadap ahli waris saja demikian, apalagi
dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk
mentransplantasikan organ orang setelah mati pada orang lain yang
membutuhkan.
Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mayat
serta adanya larangan untuk menyakitinya sebagaimana larangan pada orang
yang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Jadi, melanggar kehormatan dan menganiaya mayat sama dengan melanggar
kehormatan dan menganiaya orang hidup. Perlakuan pada mayat seperti
membedah perutnya, memenggal lehernya, mencongkel matanya, atau
memecahkan tulangnya, sama saja tidak diperbolehkan seperti menyakiti
orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya.
Hanya saja penganiayaan terhadap mayat tidak dikenakan denda
(dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup.
Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap
seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika
orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan
orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam
tanah. Akan tetapi jelas jika melampaui batas terhadap jasad si mayat
atau menyakitinya dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram;
dan haramnya bersifat pasti (qath’i).
Selain dari segi hukum kehormatan mayat, transplantasi organ dari
orang yang telah mati ini dapat pula dilihat dari segi hukum daruratnya.
Permasalahan transplantasi organ dapat diteliti melalui Qiyas, yaitu
menyamakan kejadian terdahulu dengan kejadian sekarang dengan melihat
nash (dalil) dalam Al-Qur’an. Nash yang paling mendekati adalah Allah
SWT membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan
hidupnya dan terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya.
Meski makanan tersebut diharamkan oleh Allah, namun dalam kondisi
darurat boleh dimakan sekedar untuk memulihkan tenaganya serta agar
tetap hidup. Hal ini mirip dengan transplantasi organ yang dilakukan
untuk menyelamatkan kehidupan manusia dengan menggunakan organ mayat
yang bersifat haram dipakai.
Meskipun tujuan dari transplantasi organ dengan memakan makanan haram
saat darurat adalah sama, namun perlu ditinjau kembali bahwa
transplantasi dari mayat dengan organ vital “yang diduga kuat dapat
menyelamatkan kehidupan manusia” kadang-kadang berhasil dilakukan,
kadang-kadang juga tidak. Berbeda dengan memakan makanan haram disaat
darurat yang “sudah pasti” akan menyelamatkan kehidupan. Selain itu,
illat transplantasi organ yang masih berupa ‘diduga kuat” ini ternyata
lebih lemah dan bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu
kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan
hal ini maka haram melakukan transplantasi organ.
5. Homo-transplantasi dari manusia yang telah mati dengan mengambil organ non-vitalnya
Transplantasi organ dari mayat yang kegagalannya tidak menyebabkan
kematian atau penyelamatan kehidupan tidak bergantung pada transplantasi
organ maka illat tidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku
disini. Contohnya yaitu tranplantasi kornea, atau pupil atau mata. Jadi
hukumnya adalah haram.
6.Homo-transplantasi dari manusia dengan organ reproduksi
Dalam kasus ini misalnya donor sepasang testis bagi pria atau donor
indung telur bagi perempuan. Mendonorkan sepasang atau hanya satu bagian
memang tidak akan menyebabkan kematian, namun keduanya dilarang oleh
Allah SWT.
Donor kedua testis maupun kedua indung telur, akan mengakibatkan
kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk
memelihara keturunan.
Donor hanya 1 bagian, akan mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan
nasab atau keturunan. Hal ini dikarenakan sel-sel kelamin yang terdapat
dalam organ-organ reproduktif seperti testis merupakan substansi yang
dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia berasal dari sel-sel
kelamin. Testis merupakan pabrik penghasil sel sperma dan testis akan
tetap menjadi tempat penyimpanan sel sperma tersebut kendatipun testis
itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi.
Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi
testis, sebenarnya berasal dari orang penyumbang testis, sebab testis
yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma
yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan
mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi
sedikitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang
testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka.
Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau
mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah
laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia”.
Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw:
“Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum
padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah,
dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya
padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah
menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi
(aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian”.
7. Hetero-transplantasi (transplantasi dari jaringan/organ hewan pada manusia) dari hewan tidak najis (halal)
Contoh dalam hetero-transplantasi ini adalah binatang ternak (sapi,
kerbau, dan kambing). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan
diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang diperintahkan Nabi
untuk mencarinya bagi yang sakit.
8. Hetero-transplantasi dari hewab najis (haram)
Contoh dalam hetero-transplantasi ini adalah babi atau bangkai
binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih
dahulu. Dalam kasus ini tidak dibolehkan (haram) kecuali dalam kondisi
yang benar-benar gawat darurat, dan tidak ada pilihan lain. Dalam sebuah
riwayat disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun
janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh disebutkan
“al-Dharurat Tubih al-Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal
yang haram) atau kaedah “al-Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan).
0 komentar:
Posting Komentar