Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui
proses yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun S. Suriasumantri,
1992). Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan
penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S.
Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan
pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999).
Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan
Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya
sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia
dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana)
(An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan
tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis
paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek
adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama
telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah). Agama tidak
dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma
ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang
lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan
dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan
cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan
pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai
jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar
kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi
dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran
gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya.
Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan:
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat
penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada
angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten dengan teks Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu
harus dikalahkan oleh teks Bible (Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal, www.insistnet.com) Ini tidak masuk akal dan problematis. Maka,
agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu pengetahuan akhirnya dipisah
satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan
secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan
paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama
berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma
sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist)
dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis
dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya
membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed
creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a
spiritless situation. It is the opium of the people.”
(Agama adalah keluh-kesah makhluk
tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan
ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat)
(Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegel’s Philosophy of Right,
termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan paradigma sosialis ini,
maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan
ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar
materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112).
Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan
proses perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu
melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung
benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu
paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan.
Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang
terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qa’idah
fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun
seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma Islam ini menyatakan
bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau
filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup
dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah
SWT:
0 komentar:
Posting Komentar