Jakarta (ANTARA News) – Ada yang hidup di dalam sana, dalam kegelapan yang abadi tanpa sentuhan sinar matahari.
Sebuah ekosistem sempurna di kedalaman lebih dari 4.000 meter di bawah laut Sangihe, Sulawesi Utara, terungkap dalam ekspedisi Index Satal yang merupakan kolaborasi antara peneliti Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Selama tiga bulan, 20 peneliti asal Indonesia yang berasal dari Badan Riset dKelautan dan Perikanan (BRKP), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Perguruan Tinggi, serta delapan peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administator (NOAA) menjelajahi gunung-gunung bawah laut di perairan tersebut.
Dengan menggunakan 17 kamera yang melekat pada “Remotely Operated Vehicle” (ROV) yang berkemampuan mengambil gambar pada daerah di lebih dari 4.000 meter di bawah laut milik NOAA akhirnya diketahui keberadaan sebuah gunung api aktif setinggi 3.200 meter di kedalaman 1.900 meter di bawah Laut Sangihe. Sejauh ini, menurut peneliti di Index Satal dari ITB, Noorsalam Nganro, gunung api aktif yang berada di sekitar Kepulauan Kawio tersebut merupakan gunung api aktif dasar laut tertinggi di dunia. Gunung api tersebut membentuk sebuah kawasan komunitas baru di areal geothermal. Di dalam suhu air yang sangat tinggi hingga mencapai 200 derajat celsius ternyata berbagai biota laut hidup dengan damai.
Noorsalam menjelaskan bahwa berbagai jenis bintang laut, udang, lobster, ikan, octopus, terumbu karang hidup mengandalkan bakteri-bakteri yang di dalam air, yang diperkirakan sama dengan bakteri yang hidup 3,5 miliar tahun lalu. “Sama sifat-sifat molekul atau DNA-nya dengan bakteri yang hidup 3,5 miliar tahun lalu,” ujar Noorsalam. Bagaimana peneliti Index Satal dapat menduga bakteri yang menjadi makanan biota laut di kedalaman hingga 5.100 meter tersebut sama dengan bakteri yang hidup 3,5 miliar tahun lalu? Kemampuan kamera milik NOAA-lah yang mampu menampilkan gambar macro yang sangat tajam dari biota-biota laut di perairan tersebut. “Kamera dapat mendekat hingga 75 sentimeter dari obyek, sehingga gambar detil bisa didapat,” katanya. Lantas bagaimana tampilan biota laut yang hidup dalam kegelapan dasar laut di kedalaman lebih dari 4.000 meter?
Ternyata banyak yang memiliki warna-warna yang cerah mulai dari hijau, ungu, merah muda, merah, putih, albino, kuning. Tanpa bantuan matahari untuk melalui proses fotosistesis warna hijau terumbu karang pun tampak cerah. Mereka tidak berfotosintesis dari panas sinar matahari, tetapi melalui proses kimosintesis yang mengandalkan panas dari geothermal gunung berapi, kata peneliti biologi ITB tersebut. “Jangan-jangan mereka sendiri terkejut kalau ternyata teman-teman mereka berwarna dan indah, karena selama ini kan mereka hidup dalam kegelapan. Jangan-jangan dengan terkena sinar lampu ROV mereka malah jadi buta, kita juga tidak tahu. Kita akan teliti lebih jauh lagi biota-biota yang belum memiliki nama tersebut karena baru ditemukan,” kata Noorsalam.
Di ketinggian 2.000 meter dari gunung berapi tersebut menempel cerobong-cerobong asap tinggi yang mengeluarkan panas dari gunung berapi. Cerobong yang disebut chimney tersebut terbentuk dari pertemuan hidrotermal dengan air dingin laut, sehingga tampak seperti cerobong asap yang menyembul dari tanah. Di tubuh cerobong yang mengeluarkan panas itu pun masih terdapat terumbu karang yang didiami banyak biota laut dalam ukuran mini.
Meneliti sendiriKerjasama penelitian laut dalam dan gunung di bawah laut ini dilakukan selama tiga bulan dengan kapal riset Okeanos milik Amerika Serikat dan ditemani kapal riset Baruna Jaya IV milik BPPT. Penemuan dari ekspedisi ini akan menjadi bahan penelitian bagi para ilmuwan kedua negara. Namun gambar-gambar hasil temuan selama ekspedisi berjalan dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat dunia melalui website resmi Index Satal. Berakhirnya ekspedisi dua negara ini, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad justru memacu keinginan melakukan penelitian sendiri laut-laut dalam Indonesia. “Kita coba teliti sendiri setelah ini. Kita bisa membuat kapal penelitiannya, kita beli nanti teknologinya,” ujar mantan Gubernur Gorontalo itu. Fadel menyebut angka Rp 100 miliar untuk membangun kapal dan melengkapinya dengan teknologi mutakhir.
“Kita coba anggarkan itu di 2011. Apakah bisa kita memiliki teknologi canggih serupa untuk meneliti laut dalam kita sendiri yang luas sekali?” tambah Fadel. Ia tampak takjub menyaksikan biota-biota yang baru ditemukan dan belum memiliki nama tersebut di tempat pemantauan langsung Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Ancol. Ia berharap gambar yang diterima secara langsung melalui satelit ke BRKP, Okeanos, dan NOAA di Amerika Serikat dapat dijadikan film dokumenter dan memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas. Duta Besar Amerika Serikat Cameron R Hume pun menyatakan puas dengan kerjasama eksplorasi laut dalam di Sangihe tersebut. Bagi pemerintah Amerika Serikat kerjasama itulah yang terpenting, yang akhirnya dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru.
Hume mengatakan, awal mula ekspedisi tersebut terjadi ketika pemerintahnya bertanya-tanya kemanakah teknologi baru Okeanos ini dapat dibawa sebagai uji coba eksplorasi. “Akhirnya kami putuskan untuk membawanya ke Indonesia sebelum ia melakukan eksplorasi di tempat lain,” cerita Hume. Kesepakatan kerjasama eksplorasi tersebut terjadi di sela-sela Konrefensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado pada Mei 2009, dan terlaksana sejak Juni 2010. Ia berharap hasil eksplorasi dapat menjadi masukan bagi dunia tentang kehidupan di laut dalam.
0 komentar:
Posting Komentar