oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
KRISIS Mesir makin memuncak. Di Harian Al-Hayat (Kamis, 15/08/13) Zuhair Qashibati menulis artikel berjudul Ḥarīq Mishr (“Kebakaran Mesir”) yang isinya ternyata membela tindakan aparat Mesir. Sementara pihak Al Ikhwan al Muslimun – melalu juru bicaranya – menyatakan bahwa Al-Sisi (jenderal yang menginisiasi penggulingan Mursy) akan membawa Mesir seperti Suriah.
Pernyataan ini sepertinya mendekati kebenaran, setelah terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan otoritas – menurut bahasa penguasa – “transisi” dengan alasan untuk membubarkan pada demonstran. Rabi’ah al-Adawiyah dan lapangan al-Nahdhah akhirnya bersimbah darah pada Rabu (14/08/13).
Pasca “Rabu Berdarah” itu, berbagai opini pun bermunculan. Baik yang pro-Mursy maupun yang kontra. Yang diam “seribu bahasa” hanya para kampium demokrasi dari Barat: negeri Pam Sam dan kawan-kawannya. Yang bisa dilakukan Amerika (termasuk Presiden RI) hanya melayangkan ucapan “prihatin” – sepertinya prihatin politis – dan membatalkan latihan militer AS-Mesir plus mempertimbangkan bantuan ke negeri Seribu Menara itu. Lainnya tidak ada.
Negara-negara Eropa dan Barat lainnya sepertinya tengah menjadi “pemirsa yang budiman”. Paling keras mereka akan mengajukan penelitian dan inverstigasi. Itu pun pasti merugikan Islam. Ternyata demokrasi hanya berlaku bagi negara-negara kecil – paling kuat untuk negara yang bisa “dihisap” minyak dan sumber daya alamnya.
Standar Ganda
Itu lah standar ganda Barat-Eropa bagi negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Atas nama demokrasi, di Iraq Saddam Husein harus digulingkan. Atas nama demokrasi Mu’ammar Qadhafy di Libya mesti didongkel dari kursinya. Atas nama demokrasi kaum Sunni dibiarkan dibantai di Suriah. Atas nama demokrasi Israel dibiarkan meraja-lela memproduksi senjata nuklir. Atas nama demokrasi pula mereka takut menyebut aksi militer di Mesir terhadap Mohammad Mursy sebagai aksi ‘kudeta’ kekuasaan.
Di sini, pernyataan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan ketika melakukan konferensi pers di bandara Ankara sebelum melakukan perjalanan ke Turkmenistan. Katanya, “Demokrasi di dunia akan menjadi meragukan jika Barat tidak mengambil langkah serius, dan mereka yang diam tidak peduli terhadap tragedi di Mesir akan dianggap sebagai bagian dari para pembunuh.”
Barat memang para pembunuh. Bahkan, pembunuh berdarah dingin. Dan yang tampak saat ini di Mesir Barat benar-benar tengah menjelma menjadi “pembunuh demokrasi” yang mereka kampanyekan kemana-mana. Dan Barat akan tetap bersikap seperti itu. Tetap “memancing” dai air keruh. Dan, selalu mencari kesempatan di dalam kesempitan.
Tak berbeda dari sikap Barat, DK PBB pun terkesan membiarkan apa yang terjadi hari ini. Namun segera harus dimaklumi karena suara Islam tidak ada di PBB, apalagi di kursi Dewan Keamanan di sana. Semuanya pasti pro Militer Mesir dengan pertimbangan sekian nomor urut kepentingan. Kepentingan itu tidak lepas dari lobi-lobi politis plus ekonomis.
Kemana Suara Islam?
Melihat kondisi yang memilukan di Mesir kita jadi bertanya: Kemanakah suara Islam? Mana win-win solution dari OKI. Mana suara dari Liga Arab? Apakah “Mesir Membara” yang telah menelan lebih 600 orang (IM menyebut 2.600 orang), apa masih kurang? Atau memang semuanya tak tahu harus berbuat apa.
Ratusan jasad para demonstran yang dibakar pemerintah Mesir – untuk menghilangkan jejek kekejaman dan kekejian mereka – kurang cukup untuk mengetuk pintu hati kecil? Padahal berbagai protes dari berbagai belahan dunia atas aksi kekerasan dan pembantaian di Mesir sudah muncul dimana-mana. Namun itu adalah kecil. Karena mereka bukan organisasi. Mereka hanya individu-individu yang berkumpul seadanya: untuk menyatakan bahwa mereka masih punya akal dan rasa.
Seharusnya itu sudah cukup untuk memantik rasa ukhuwwah islamiyyah berbagai organisasi Islam yang ada di dunia. Dan sikap itu pula harus diikuti oleh berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, khususnya Indonesia. Tentu suara Islam saat ini tengah diuji. Jika tidak ada tindakan nyata dan tegas, maka sudah dapat dipastikan bahwa sampai kapanpun ummat ini akan tetap seperti buih: besar secara kuantitas tapi kecil secara kualitas. Kondisi ini lah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw. Solusinya memang harus kembali berpikir ‘ukhrawi’, tidak melulu duniawi. Supaya kita punya nyali. Wallāhu waliyyut-tawfīq.*
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Sumut.
KRISIS Mesir makin memuncak. Di Harian Al-Hayat (Kamis, 15/08/13) Zuhair Qashibati menulis artikel berjudul Ḥarīq Mishr (“Kebakaran Mesir”) yang isinya ternyata membela tindakan aparat Mesir. Sementara pihak Al Ikhwan al Muslimun – melalu juru bicaranya – menyatakan bahwa Al-Sisi (jenderal yang menginisiasi penggulingan Mursy) akan membawa Mesir seperti Suriah.
Pernyataan ini sepertinya mendekati kebenaran, setelah terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan otoritas – menurut bahasa penguasa – “transisi” dengan alasan untuk membubarkan pada demonstran. Rabi’ah al-Adawiyah dan lapangan al-Nahdhah akhirnya bersimbah darah pada Rabu (14/08/13).
Pasca “Rabu Berdarah” itu, berbagai opini pun bermunculan. Baik yang pro-Mursy maupun yang kontra. Yang diam “seribu bahasa” hanya para kampium demokrasi dari Barat: negeri Pam Sam dan kawan-kawannya. Yang bisa dilakukan Amerika (termasuk Presiden RI) hanya melayangkan ucapan “prihatin” – sepertinya prihatin politis – dan membatalkan latihan militer AS-Mesir plus mempertimbangkan bantuan ke negeri Seribu Menara itu. Lainnya tidak ada.
Negara-negara Eropa dan Barat lainnya sepertinya tengah menjadi “pemirsa yang budiman”. Paling keras mereka akan mengajukan penelitian dan inverstigasi. Itu pun pasti merugikan Islam. Ternyata demokrasi hanya berlaku bagi negara-negara kecil – paling kuat untuk negara yang bisa “dihisap” minyak dan sumber daya alamnya.
Standar Ganda
Itu lah standar ganda Barat-Eropa bagi negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Atas nama demokrasi, di Iraq Saddam Husein harus digulingkan. Atas nama demokrasi Mu’ammar Qadhafy di Libya mesti didongkel dari kursinya. Atas nama demokrasi kaum Sunni dibiarkan dibantai di Suriah. Atas nama demokrasi Israel dibiarkan meraja-lela memproduksi senjata nuklir. Atas nama demokrasi pula mereka takut menyebut aksi militer di Mesir terhadap Mohammad Mursy sebagai aksi ‘kudeta’ kekuasaan.
Di sini, pernyataan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyib Erdogan ketika melakukan konferensi pers di bandara Ankara sebelum melakukan perjalanan ke Turkmenistan. Katanya, “Demokrasi di dunia akan menjadi meragukan jika Barat tidak mengambil langkah serius, dan mereka yang diam tidak peduli terhadap tragedi di Mesir akan dianggap sebagai bagian dari para pembunuh.”
Barat memang para pembunuh. Bahkan, pembunuh berdarah dingin. Dan yang tampak saat ini di Mesir Barat benar-benar tengah menjelma menjadi “pembunuh demokrasi” yang mereka kampanyekan kemana-mana. Dan Barat akan tetap bersikap seperti itu. Tetap “memancing” dai air keruh. Dan, selalu mencari kesempatan di dalam kesempitan.
Tak berbeda dari sikap Barat, DK PBB pun terkesan membiarkan apa yang terjadi hari ini. Namun segera harus dimaklumi karena suara Islam tidak ada di PBB, apalagi di kursi Dewan Keamanan di sana. Semuanya pasti pro Militer Mesir dengan pertimbangan sekian nomor urut kepentingan. Kepentingan itu tidak lepas dari lobi-lobi politis plus ekonomis.
Kemana Suara Islam?
Melihat kondisi yang memilukan di Mesir kita jadi bertanya: Kemanakah suara Islam? Mana win-win solution dari OKI. Mana suara dari Liga Arab? Apakah “Mesir Membara” yang telah menelan lebih 600 orang (IM menyebut 2.600 orang), apa masih kurang? Atau memang semuanya tak tahu harus berbuat apa.
Ratusan jasad para demonstran yang dibakar pemerintah Mesir – untuk menghilangkan jejek kekejaman dan kekejian mereka – kurang cukup untuk mengetuk pintu hati kecil? Padahal berbagai protes dari berbagai belahan dunia atas aksi kekerasan dan pembantaian di Mesir sudah muncul dimana-mana. Namun itu adalah kecil. Karena mereka bukan organisasi. Mereka hanya individu-individu yang berkumpul seadanya: untuk menyatakan bahwa mereka masih punya akal dan rasa.
Seharusnya itu sudah cukup untuk memantik rasa ukhuwwah islamiyyah berbagai organisasi Islam yang ada di dunia. Dan sikap itu pula harus diikuti oleh berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, khususnya Indonesia. Tentu suara Islam saat ini tengah diuji. Jika tidak ada tindakan nyata dan tegas, maka sudah dapat dipastikan bahwa sampai kapanpun ummat ini akan tetap seperti buih: besar secara kuantitas tapi kecil secara kualitas. Kondisi ini lah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw. Solusinya memang harus kembali berpikir ‘ukhrawi’, tidak melulu duniawi. Supaya kita punya nyali. Wallāhu waliyyut-tawfīq.*
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Sumut.