Mentransformasikan Takbir dalam Kehidupan Kita


Tiada arti bagi takbir yang diucapkannya bila yang diterapkan dan di junjung tinggi adalah yang diberikan loyalitas adalah hukum buatan manusia
null
Hanya Allah Subhanahu Wata'ala yang kita besarkan, bukan yang lain
Oleh: Shalih Hasyim
Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman :
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“supaya kalian menyempurnakan bilangan (shaum Ramadlan) dan supaya kalian mengagungkan Allah atas hidayah yang Dia berikan kepada kalian, serta supaya kalian bersyukur.” [QS. Al Baqarah (2) : 185].
SEMINGGU ini gema takbir dikumandangkan. Inilah hari raya setelah kaum Muslimin berbuka dari ibadah shaum Ramadlan. Ied adalah perayaan yang selalu berulang, sedangkan Al Fithr adalah berbuka dari shaum. Jadi ‘Idul Fithri adalah hari raya yang selalu berulang yang dilakukan setelah berbuka dan selesai menunaikan shaum Ramadlan.
Setelah Allah ta’ala menjelaskan pensyari’atan kewajiban shaum Ramadlan dan kewajiban mengqadla atas orang yang tidak shaum karena sakit, musafir, hamil, dan menyusui dan yang serupa itu.
Ayat diatas memberikan arahan kepada kita agar  sempurna shaum kalian sebulan penuh dan supaya kalian memuji Allah ta’ala dengan mengagungkannya dalam bentuk takbir dan dzikir di akhir ibadah shaum kalian. Perintah dzikrullah ini bukan hanya setelah selesai ibadah shaum, akan tetapi setelah selesai setiap ibadah, di mana setelah ibadah shalat jum’at Allah ta’ala memerintahkan untuk dzikrullah, sebagaimana firman-Nya :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
“Kemudian bila telah ditunaikan shalat (jum’at), maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah dari karunia Allah serta mengingatlah Allah dengan banyak.” [QS. Al Jum’ah (62) : 10]
Begitu juga sehabis ibadah haji, Dia berfirman :
فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ
“Kemudian bila kalian telah menunaikan manasik (haji) kalian, maka kalian mengingatlah Allah….” [QS. Al Baqarah (2) : 200]
Begitu juga sehabis shalat fardlu, Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata :
ماكنا نعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا بالتكبر
“Kami tidak mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dengan takbir.” [HR Al Bukhari]
Para ulama dari ayat “dan supaya kalian mengagungkan Allah…” ini mengambil kesimpulan pensyari’atan takbir di hari raya Iedul Fthri, sedang waktunya adalah mulai dari maghrib 1 Syawal sampai imam memulai melaksanakan shalat Ied.
Takbir اللّهَ اكبر adalah ungkapan pengagungan Allah yang harus muncul dari lubuk hati yang sangat dalam. Di mana takbir adalah pengakuan hati bahwa Allah itu Maha Agung lagi Maha Besar dari segalanya, diikrarkan dengan lisan serta pengakuan itu dibuktikan di dalam praktek kehidupan. Tapi bila di dalam prakteknya ternyata ada hal lain yang lebih didahulukan dan lebih dipentingkan daripada Allah ta’ala dan hukum-Nya, maka sesungguhnya ikrar takbir yang diucapkan dengan lisan itu adalah dusta dan hanya hiasan mulut semata.
Allahu Akbar jika dikumandangkan akan melahirkan keimanan yang kuat. Alangkah kecil, ilmu, harta, kekuasaan dan pengaruh yang kita miliki. Subhanallah, Maha Suci Allah. Bukankah kita seringkali tidak mampu memelihara kebersihan hati, pikiran, mulut, dan anggota tubuh dari maksiat. Al-Hamdulillah, alangkah banyaknya karunia Allah  yang diberikan kepada kita. Sudahkah nikmat itu kita optimalkan untuk mengabdi kepada-Nya !.
Allah Maha Agung… Allah Maha Besar… Dia lebih besar daripada anak dan isteri, oleh sebab itu Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan isterinya Hajar dan puteranya yang masih bayi yaitu Ismail di lembah yang kering kerontang yang tidak ada air lagi tidak ada tanaman, dikarenakan Allah ta’ala yang memerintahkannya. Di dalam Shahih Al Bukhari: Hajar bertanya kepada Ibrahim: “Apakah Allah yang telah memerintahkan engkau dengan hal ini? Ibrahim ‘alaihissalam menjawab: Ya”. Maka Hajar dengan penuh keyakinan mengatakan: “Kalau begitu, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Ini adalah contoh realisasi ucapan takbir, di mana perintah Allah ta’ala didahulukan walaupun harus meninggalkan anak isteri yang sangat dicintai, begitu pula saat jihad sudah menjadi fardlu ‘ain pada kondisi seperti sekarang, maka bukti kongkrit takbir yang diucapkan di dalam shalat pada setiap gerakan adalah orang muslim keluar berjihad meninggalkan anak isteri….Allahu Akbar….
Kisah Siti Hajar
Aplikasi mentakbirkan Allah Subhanahu Wata’ala ada pada  SIti Hajar. Beliau adalah contoh di dalam sikap seorang wanita Muslimah, di mana ia menerima keputusan Ibrahim ‘alaihissalam tercinta untuk meninggalkannya, karena itu adalah perintah Allah ta’ala, sedangkan Allah dan perintah-Nya adalah lebih besar daripada Ibrahim suaminya, dan ia yakin bahwa Allah ta’ala tidak akan menyia-nyiakannya.
Begitulah seharusnya wanita Muslimah bersikap saat suaminya memenuhi panggilan kewajiban jihad, dia jangan khawatir, dan jangan menghalang-halangi suaminya dari menunaikan kewajiban bila takbir yang selalu dia ucapkan di dalam shalatnya itu benar lagi jujur… اللّهَ اكبر
Begitulah makna takbir اللّهَ اكبر ini dibuktikan oleh para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, di mana mereka pergi jauh berbulan-bulan bahkan ada yang tidak pulang lagi meninggalkan anak isteri mereka di dalam menunaikan perintah Allah berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Para sahabat dan generasi salaf melakukan hal ini dan para isteri mereka pun rela dan tulus ikhlas sepenuh hati menerima hal itu, ini dikarenakan makna اللّهَ اكبر terpancang di dalam jiwa mereka.
Namun banyak realitas kaum muslimin yang berat meninggalkan isteri mereka dan begitu pula para isteri menghalangi para suami mereka dari pergi jihad yang sudah fardlu ‘ain, padahal ucapan takbir selalu mereka lantunkan, maka apakah sseperti itu bukti kongkritnya? Yang ada malah wujud الحب اكبر (Cinta Maha Besar?!!!).. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu di sisiku!!!? Yang menghantarkan orang itu pada posisi fasiq di dalam surat (At Taubah (9) : 24).
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Bila bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, karib kerabat kamu, harta-harta yang kamu usahakan dan perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya serta tempat-tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan urusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.” [QS. At Taubah (9) : 24].
Allah Maha Besar…Allah lebih besar dari anak kita, oleh sebab itu jangan sampai kecintaan kepadanya menjadi penghalang di dalam menjalankan perintah Allah ta’ala. Perhatikanlah makna اللّهَ اكبر yang terpatri di dalam jiwa Ibrahim ‘alaihissalam tatkala diperintahkan Allah untuk menyembelih putera kesayangannya Ismail ‘alaihissalam, dan perhatikan pula sikap anak yang tunduk dan rela sepenuh hati menerima konsekuensi perintah Allah ta’ala :
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“(Ibrahim) berkata: “Wahai anakku ! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu !” Dia (Ismail) menjawab: “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” [ QS. Ash Shaffat (37) : 102].
Ini dia Abu Salamah radliallahu ‘anhu, tatkala kewajiban hijrah sudah tetap ke Madinah, maka ia pergi hijrah meninggalkan anak dan isterinya yang ditahan oleh kaumnya, dan begitulah Generasi salaf pergi jauh berjihad meninggalkan anak-anaknya yang masih dikandung atau masih kecil, apakah hanya kita saja yang memiliki anak kecil dan isteri yang sedang hamil tua? Mana makna اللّهَ اكبر yang selalu kita ulang-ulang di dalam gerakan shalat?!!! Coba lihat lagi ayat 24 At Taubah tadi…! Anak itu titipan dan milik Allah, maka jangan sampai ia menghalangi pelaksanaan kewajiban…
Allah Maha Besar… Dia lebih besar dari ayah sendiri, oleh sebab itu Ibrahim ‘alaihissalam berlepas diri dari ayahnya tatkala ayahnya itu bersikukuh diatas kekafiran.
فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ
“Kemudian tatkala telah jelas baginya (Ibrahim) bahwa ayahnya itu adalah musuh bagi Allah, maka ia (Ibrahim) berlepas diri darinya.” [ QS. At Taubah (9) : 114].
Ini dia Abu Ubaidah Ibnul Jarrah pada perang Badar membunuh ayahnya sendiri yang kafir, begitu juga Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu menempeleng ayahnya sendiri Abu Quhafah di Mekkah sampai tersungkur, dan hal itu diceritakan orang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam maka beliau bertanya : “Apa benar engkau melakukannya wahai Abu Bakar?” Ia menjawab: “Demi Allah seandainya ada pedang di dekat saya, tentu saya pukul dia dengannya.” Itu tatkala Abu Quhafah masih kafir dan menghina Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan berkitan dengan mereka itu turun firman Allah ta’ala :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka menjalin kasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka itu bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau karib kerabat mereka….” [ QS. Al Mujadilah (58) : 22].
Ini juga Sa’ad Ibnu Abi Waqqash radliallahu ‘anhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, At Tirmidzi dan yang lainnya, tatkala ia masuk Islam dan komitmen dengan tauhid, ibunya berkata : “Bukankah Allah telah memerintahkan untuk berbakti ? Demi Allah saya tidak akan makan dan minum apapun sampai saya mati atau kafir.” Namun Sa’ad tetap teguh dengan prinsip tauhid walaupun disebut durhaka, dan Allah ta’ala pun menurunkan firman-Nya :
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada manusia agar ia berbuat baik kepada kedua orangtuanya, dan bila keduanya memaksamu supaya menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan kamu taati keduanya….” [ QS. Al Ankabut (29) : 8].
Ini semua dikarenakan makna اللّهَ اكبر terpatri di dalam lubuk hati mereka, namun sungguh sangat disayangkan realita orang-orang yang mengaku muslim dan sering bertakbir di masa sekarang, di mana dikarenakan desakan orangtua dan keinginan ingin menyenangkan keduanya banyak diantara mereka yang mendaftarkan dirinya untuk menjadi aparat thaghut (polisi, tentara dan yang lainnya), maka mana makna takbir yang selalu diucapkan itu? Batal dengan perbuatannya tersebut…..
Banyak pula yang mundur dari ikut serta di dalam jihad karena dilarang orangtua atau mertua, padahal jihad sudah fardlu ‘ain tidak usah izin orangtua apalagi mertua. Maka mana makna اللّهَ اكبر yang sering diucapkan ?.Allah Maha Besar… Dia lebih besar dari semua harta benda dan perintah-Nya harus didahulukan walaupun harus mengorbankan harta benda.
Makna inilah yang dibuktikan oleh Shuhaib Ar Rumi Radliallahu ‘anhu, di mana saat Allah ta’ala mewajibkan hijrah ke Madinah, maka ia pun hijrah walaupun harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada kafir Quraisy agar mereka melepaskan dia pergi hijrah, maka tatkala ia sampai ke Madinah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepadanya: “Beruntung jual belinya wahai Abu Yahya, beruntung jual belinya wahai Abu Yahya.
 Dan turun firman-Nya :
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” [QS. Al Baqarah (2) : 207].
Namun zaman sekarang banyak orang yang menjual agamanya demi mendapatkan kenikmatan atau keleluasaan hidup di dunia ini yang hanya sementara. Di mana segolongan manusia mengorbankan tauhidnya berbondong-bondong menjadi polisi dan tentara thaghut demi mendapatkan gaji bulanan dan tunjangan hidup, segolongan mereka mau menjadi mata-mata thaghut yang mengawasi dan melaporkan kegiatan amal jihadi kepada thaghut dan ansharnya, sebagian yang lain rela menjadi alat penjinak para singa tauhid dan jihad demi kepentingan penguasa thaghut dalam rangka mendapatkan imbalan dunia dan lain sebagainya….
Allah Maha Besar… Dia lebih besar dan lebih agung daripada sebidang tanah dan hukum-Nya lebih besar daripada sekedar tanah air. Di mana ajaran Allah harus di junjung tinggi walaupun berbenturan dengan kepentingan tanah airnya atau negaranya. Oleh sebab itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam hijrah meninggalkan Mekkah tanah airnya menuju Madinah dan begitu pula para sahabatnya…
Allah ta’ala pun telah mengancam orang yang lebih mencintai tanah airnya sehingga menelantarkan hukum dan ajaran Allah, di mana mereka lebih mengutamakan dan mengedepankan kepentingan bangsanya dan negaranya daripada agama dan hukum Allah, dan demi meraih ridla anak-anak bangsa yang kafir mereka menggugurkan hukum Islam di dalam aturan sistim pemerintahan dan mereka menggunakan hukum buatan yang direstui oleh orang-orang kafir asli dan orang-orang murtad…sehingga gugur pula makna takbir yang mereka ucapkan, tiada arti bagi takbir yang diucapkannya bila yang diterapkan dan di junjung tinggi adalah hukum thaghut, tidak ada arti bagi takbir yang mereka ucapkan bila yang diberikan loyalitas adalah hukum buatan manusia.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar